top of page

OJOU!

“Aku benci dengan orang-orang seperti mereka.”

Higuchi Lydia tertegun begitu mendengar kata-kata dingin yang keluar dari mulut Kim Jeong, mahasiswa kedokteran sekaligus partner Hi5-nya.


Awalnya, Lydia berniat untuk hidup normal di Korea. Tetapi, kenyataan seperti tidak mengizinkannya. Setiap hari, ia diuntit sesosok pria berjas putih dan dipaksa melakukan hal-hal yang tidak disukainya.

 

Lydia berusaha melupakan fakta bahwa ia adalah bagian dari sebuah keluarga yang tidak akan bisa dibayangkan oleh siapapun—tak terkecuali Jeong.
Terutama Jeong.

 

Saat akhirnya Jeong tahu kebenarannya dan menjauhi Lydia, hati gadis itu pun berontak.
 

Tetapi rasa suka itu bukan buih kan?

SAMPLE CHAPTER...



Higuchi Lydia menguap lebar-lebar tanpa berusaha menutupinya. Ia bahkan tidak peduli saat seorang pemuda SMA yang duduk tepat di sebelah memandangnya dengan satu alis diangkat tinggi-tinggi. Lydia menyilangkan kedua lengannya dan hendak meletakkannya di atas meja kafe, tetapi saat itu, sikut gadis itu menyenggol gelas kopi hangat yang ada di sebelahnya. Buru-buru ia menegakkan punggungnya, tidak berani berulah. Gadis itu mulai memperhatikan pemuda yang ada di hadapannya.



Kim Jeong tersenyum simpul saat melihat tingkah Lydia. Di tangan pemuda itu ada sebuah buku pelajaran bahasa Korea dasar, tepatnya pelajaran membaca yang sering membuat Lydia bosan setengah mati seperti hari Senin ini. Lydia bukan jenis orang yang bisa duduk diam dan membaca buku dengan tenang.
 

“Neo wae irae ?” tanya Jeong pada Lydia.
 

Lydia menjatuhkan bahunya, berhenti berpura-pura memperhatikan. “Bored. Kan sudah kubilang, seharusnya pelajaran minggu kemarin dibiarkan saja hangus!”
 

Jeong menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Buru-buru Lydia mengangkat telapak tangannya dan menunjukkannya pada Jeong saat pemuda itu hendak membuka mulutnya lagi.
 

“Stop! Stop! Aku tahu kau akan berceramah lagi tentang tanggung jawab dan semacamnya, tapi sekarang aku sudah tidak berminat untuk mendengarnya. Aku sudah mengerti bahwa pelajaran minggu kemarin dibatalkan karena kau ada ujian, dan harus diganti dengan hari ini karena KITA harus bertanggung jawab, terlebih karena AKU harus belajar bahasa Korea, karena aku tinggal di Korea. Ada yang perlu kau koreksi?”
 

Jeong tertawa, “Kau ternyata pintar!”
 

Lydia memicingkan matanya, “Kau memuji atau menyindir?”
 

“Aku memuji,” ujar Jeong. “Sekarang, bisa kau baca paragraf kedua, karena aku sudah selesai membaca paragraf pertama?”
 

Lydia mengerang. Erangan pendek yang sama sekali tidak dipedulikan oleh Jeong. Jeong hanya menatap Lyda dan menunjuk-nunjuk buku pelajaran gadis itu, membuat Lydia tak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Jeong.
 

Mereka berdua adalah mahasiswa Kwang Han Daehakkyo (yang lebih dikenal dengan singkatan Kwangdae). Jeong adalah orang Korea asli dan Lydia adalah orang Jepang blasteran Indonesia. Ibunya dari Solo, Jawa Tengah.
 

Yang satu seorang pemuda berpostur tinggi, sedangkan yang satu adalah seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut yang dipotong pendek seperti seorang anak laki-laki. Jeong memakai kacamata, sedangkan Lydia meskipun matanya yang bagus itu menjadi rabun sekalipun, ia tidak akan sudi memakai kacamata karena menurutnya kacamata hanya akan membuat dirinya terlihat seperti seorang geek.

Lydia akan mendapat senyum masam dari Jeong setiap kali ia mengemukakan pendapatnya ini.
 

“Hei! Yang ini bacanya apa?” Lydia menyodorkan bukunya kepada Jeong sambil menunjuk sebuah kata.
 

“Yang mana?” Jeong memajukan tubuhnya untuk melihat kata yang ditunjuk oleh Lydia, kemudian berujar sabar, “’Seonbae’ .”
 

Tidak ada nada putus asa pada suara Jeong, Lydia mengangguk-angguk dan melanjutkan membaca secara perlahan, mengeja huruf demi huruf. Baris demi baris Hangeul berderet-deret seperti semut kecil yang berarakan.
 

“Kalau yang ini?” Sekali lagi Lydia memutar bukunya dan menunjuk sebuah kata. Gadis itu tak bisa menahan senyum nakalnya, karena sebenarnya ia sudah tahu bagaimana cara membaca deretan huruf yang sedang ia tunjuk.
 

Jeong mendesah pendek dan memprotes, “Kau ini… sudah belajar bahasa Korea setahun lebih, tapi kau masih tidak bisa membaca?”
 

Lydia mengedikkan bahu kanannya dan menarik mug kopinya. Dengan satu seruputan, Lydia meminum kopi itu dan mengembuskan napas panjang. Satu seruputan kopi hangat memang bisa sangat menenangkan di tengah cuaca dingin seperti ini.
 

“Yang penting kan aku bisa berkomunikasi,” ujar Lydia enteng sambil terus menunjuk satu kata di buku pelajaran yang ia buka lebar-lebar. Itu kan gunanya bahasa? Agar orang bisa saling mengerti dan berkomunikasi? Walaupun Lydia sering menggunakan bahasa Tarzan dan bahasa tidak jelas yang ia dapatkan dari acara TV, tetapi ia kan sudah bisa berkomunikasi dengan baik.
 

“Lagi pula, aku tidak membutuhkan bahasa Korea,” tambah gadis itu, tak tahan ingin membantah. “Kau tahu semua dosen di kelasku menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan kelasku adalah kelas paling internasional di seluruh kampus.”


International liberal studies. Fakultas itu memang dikhususkan bagi mereka yang ingin melebarkan sayap mereka dan beraktivitas di dunia internasional. Beberapa orang bahkan menjadi seorang pengacara di PBB, mewakili negara-negara yang masih dalam peperangan. Lydia tidak bercita-cita sebesar itu, ia hanya ingin menjadi seorang pengacara di sebuah perusahaan. Kalau Lydia beruntung, perusahaan internasional.


Tetapi itu masih beberapa tahun lagi. Sekarang Lydia hanya ingin menikmati waktunya.

 

“Oke, oke,” ujar Lydia membetulkan letak duduknya, saat melihat Jeong mengerutkan keningnya. Lydia tahu kalau Jeong menatapnya seperti itu, berarti pemuda itu ingin Lydia lebih serius lagi tentang pelajaran mereka. Sebentar lagi, pasti Jeong akan memberikan ceramahnya tentang keseriusan belajar.
 

“Lydia, you live in Korea,” ujar Jeong dengan nada yang sering disebut Lydia sebagai nada penasihat-agung. Lydia memutar matanya dan menjatuhkan bahunya lagi karena tebakannya tepat. “Apa kata orang-orang di Jepang nanti saat mereka tahu kau tidak bisa berbahasa Korea, padahal sudah tinggal di sini selama setahun penuh.”

“Iya, iya. Lanjutkan pelajarannya,” Lydia hampir saja menyeletuk bahwa tidak ada orang Jepang yang peduli kalau Lydia tidak bisa bahasa Korea. Tetapi gadis itu tidak berencana mendengar nasihat-nasihat Jeong sepanjang sore. Lydia lebih memilih mematuhi Jeong. Gadis itu tahu, Jeong hanya ingin membujuknya untuk lebih giat belajar bahasa Korea.
 

Jeong adalah anggota Hi5, sebuah organisasi mahasiswa Korea, wujud nyata kebijakan Kwangdae untuk membantu mahasiswa asing. Seorang mahasiswa asing akan dipasangkan dengan seorang anggota Hi5 yang disebut partner. Jeong menjadi partner Lydia sejak gadis itu memulai pelajarannya di Kwangdae tahun lalu. Tugas Jeong sebagai partner adalah membuat Lydia senyaman mungkin tinggal dan belajar di Korea.
 

Sebagian besar siswa asing menghadapi kebijakan Kwangdae ini dengan acuh tak acuh. Hanya saja, para siswa dari Jepang lebih serius dan Lydia termasuk salah satunya. Bukannya ingin menyombong, tetapi Lydia tahu apa arti ‘terima kasih’ (pada Kwangdae yang ingin membantu) dan ‘tanggung jawab’.
 

Sejak itu, setiap Selasa, mereka berdua akan bertemu di kafe, atau tempat lain untuk belajar bahasa Korea, atau kadang hanya duduk dan berbicara tentang hari-hari mereka.
 

“Nah, kata ini bacanya apa?” Lydia mengetukkan jarinya, mengulangi pertanyaannya. Senyum jail tak bisa hilang dari wajahnya saat Jeong mencondongkan tubuhnya untuk mengecek apa yang sedang Lydia tunjuk.
 

“’Ramyeon’.”
 

“’Ramyeon’.”
 

Mereka berdua bersamaan menjawab. Kening Jeong berkerut.
 

“Kau…”
 

“Kau baik deh,” Lydia menyahut sambil mengedipkan sebelah matanya. Gadis itu membalik bukunya lagi dan mulai membaca lanjutannya, tidak sadar bahwa Jeong tersenyum simpul memandangnya.
 

Sejenak kemudian, Lydia selesai membaca. Dengan wajah puas, Lydia mengatakan bahwa ia sudah berhasil (diikuti gelengan kecil Jeong) membaca dengan baik dan benar. Lydia menyerahkan paragraf selanjutnya pada Jeong dan berkata bahwa ia siap untuk menyimak.
 

Namun, meskipun Lydia memang berdiam diri, gadis itu tidak bisa menahan otaknya untuk tidak berpikir macam-macam.
 

Lydia ingat ia masih belum mengerjakan tugas laporan yang harus ia selesaikan minggu ini. Ia masih punya waktu empat hari hingga akhir pekan. Kalau ia menghitung Sabtu dan Minggu, masih ada enam hari untuk menyelesaikan tugas itu. Gampang. Kalau tidak selesai, ia bisa meminjam milik Michelle, teman baiknya dari Mongolia yang tinggal di depan kamarnya itu, seperti biasa.
 

Lydia mencoba menahan kikikan saat mengingat nama Michelle. Sampai sekarang, Lydia belum bisa mengucapkan nama Michelle yang sebenarnya, karena nama Mongol sangat panjang dan susah untuk dilafalkan oleh lidah Lydia. Alhasil, Michelle gemas dan mengatakan pada Lydia untuk memanggilnya Michelle saja.
 

Setelah mengingat sahabatnya itu, Lydia mengecek agendanya untuk memastikan tidak ada tugas lain. Satu tanda lingkaran merah yang menandai agenda Lydia menarik perhatian gadis itu. Hari Selasa minggu depan. Di tengah lingkaran itu, Lydia menuliskan “kunjungan keluarga” dengan tebal.
 

Kunjungan keluarga adalah salah satu tugas Lydia yang ia dapat dari kelas bahasa Korea di kampus. Menurut dosen wanita yang mengajar kelas itu, interaksi dengan keluarga Korea bisa membuat siswa asing seperti Lydia mengerti dan memahami budaya Korea lebih baik lagi.
 

Lydia tidak tertarik pada hal semacam mengerti-dan-memahami-budaya-Korea, tetapi ia tertarik mengunjungi keluarga Jeong karena pemuda itu (menurut Lydia) seorang pelajar teladan. Lydia hanya tergelitik ingin melihat kamar pemuda itu. Mungkin ia bisa menemukan sesuatu yang bisa sedikit merusak citra pemuda itu, sekadar untuk meledek dan menggodanya.
 

Lydia terkekeh nakal saat membayangkan ia menemukan majalah porno di kamar Jeong. Kadang, menyenangkan mencari kesalahan kecil Jeong, karena pemuda itu selalu tampak sempurna.

“Kau kenapa?” tanya Jeong khawatir, mungkin mengira Lydia sudah terkena gangguan saraf otak atau semacamnya karena tiba-tiba terkekeh.
 

“Tidaaaak,” ujar Lydia tak bisa menahan cengirannya. “Aku hanya teringat kunjungan keluarga minggu depan. Kau ingat tidak?”
Lydia siap meledek kalau sampai Jeong lupa.

 

“Tentu saja aku ingat!” ujar Jeong, diikuti bahu Lydia yang terjatuh, kecewa karena tidak bisa meledek pemuda itu. “Aku juga sudah memberitahu ibuku bahwa kau akan datang. Ia tampak antusias. Dia bilang akan menyediakan makanan paling enak.”
 

Lydia suka makanan enak. Gadis itu tidak bisa menahan cengirannya dan berujar, “Good! Good! Lanjutkan bacanya! Sampai di mana tadi kau membaca?”
 

Meskipun berkata seolah ia akan memperhatikan, Lydia hanya memperhatikan saat gilirannya membaca (karena memang membutuhkan perhatian dan konsentrasi). Saat Jeong membaca paragraf dan menjelaskan tentang susunan kalimat dan tata bahasa, pikiran Lydia melayang ke mana-mana. Karena tidak ada objek yang bisa ia perhatikan, Lydia banyak memperhatikan agendanya, sama seperti tadi. Sesekali gadis itu bergumam pada dirinya sendiri untuk mengingatkan beberapa jadwal yang harus ia ikuti.

Sambil terus melanjutkan bacaannya, Jeong tersenyum sendiri mendengar gadis itu bergumam. Entah sejak kapan, ia menyukai Lydia yang sepertinya tak bisa tenang ini. Iya. Jeong suka Lydia. Kejadiannya terjadi begitu saja, seperti sengatan listrik yang tiba-tiba. Saat sadar, gadis yang sedang tertawa-tawa ceria itu sudah mencuri hatinya.
 

Jeong sendiri tidak tahu apa yang ia sukai. Mungkin energinya, mungkin juga kecablakannya. Atau karena rambutnya yang ia potong pendek itu serasi dengan hidung kecil yang terpasang apik di wajah mungil gadis itu? Rasa nyaman berada di sisi gadis itu juga bisa menjadi salah satu kemungkinannya. Atau mungkin, tawa dan cengiran setelah makan itu?
 

Semuanya mungkin. Bahkan mungkin semuanya itu adalah alasannya. Jeong tidak pernah tahu.
 

Jeong menutup bukunya setelah mereka menyelesaikan beberapa paragraf. Pemuda itu mengecek jam tangannya. Mereka sudah berada di kafe itu satu jam lebih dan matahari sudah mulai tenggelam, menunjukkan semburat jingga di langit yang mulai gelap.
 

“Kita selesai?!” ujar Lydia saat sadar bahwa Jeong sudah menutup bukunya.
 

Jeong mengangkat wajahnya dan tertawa, “Lydia, kau ini kalau sudah selesai saja begitu bersemangat. Seharusnya kau menggunakan semangatmu ini untuk belajar. Jangan lupa, besok hari Selasa, jadi kita ada pelajaran lagi.”
 

“Sudah, tak usah membahasnya lagi,” Lydia sudah tidak mau mendengarkan apa-apa lagi yang berhubungan dengan pelajaran. “Aku sudah lapar setengah mati. Jigae meokgo sipeo .”
 

Jeong merasa senang mendengar Lydia mau berbahasa Korea. Ia tak mau menyia-siakan kesempatan ini dan menjawab balik, “Kau tahu tempat makan jigae yang enak?”
 

“I know a place,” ujar Lydia dalam bahasa Inggris, membuat Jeong sedikit kecewa. “Aku biasa ke sana dengan Michelle. Ayo!”
 

Tetapi, oh! Lydia baru ingat kalau hari ini hari Senin! Lydia harus bertemu dengan seseorang hari ini. Inilah akibatnya kalau mengganti hari belajar ke hari lain! Buru-buru Lydia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah pesan yang mengatakan bahwa pertemuan mereka harus diganti besok.
 

“Ada apa?” tanya Jeong yang sadar bahwa Lydia sedikit panik.
 

Lydia menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Jemarinya bergerak lincah di atas ponsel itu mengetik sebuah pesan. “Tidak. Aku hanya perlu mengirim sebuah pesan. Itu saja. Daaaaan… kirim! Selesai!” Gadis itu menyeringaikan sebuah senyum pada Jeong.
*

Setelah menaiki subway selama 10 menit, mereka tiba di daerah Hyehwa Station. Kampus Kwangdae juga berada di sekitar situ. Setelah beberapa menit berjalan, mereka berdua tiba di sebuah jalanan yang kanan dan kirinya dipenuhi oleh restoran dan kedai-kedai kecil.
 

Angin musim gugur yang kering mengibarkan rambut pendek Lydia. Gadis itu mengencangkan syalnya dan memasukkan telapak tangannya ke jaket tipis yang ia kenakan. Cuaca hari ini tidak begitu dingin, tetapi sudah cukup untuk membuat Lydia ingin makan sesuatu yang panas dan pedas.
 

Lampu-lampu kedai mulai dinyalakan, menandakan bahwa waktu makan malam baru saja akan dimulai. Daerah itu masih sepi. Jeong berjalan di samping Lydia, memperhatikan deretan restoran, seolah sedang menilai apakah makanan yang disajikan di sana enak atau tidak. Lydia melangkahkan kakinya dengan pasti, karena ia sudah hafal daerah sini. Hanya perlu berjalan beberapa blok dari asrama mereka. Karena itu, tempat ini sering menjadi tempat mahasiswa Kwangdae untuk makan malam.
 

Lydia sekarang tinggal di iHouse—International House, sebuah asrama bagi mahasiswa asing sepertinya. Tepatnya, iHouse timur. Lydia suka tinggal di asrama itu. Apalagi dengan adanya Michelle. Lydia jadi tidak perlu kebingungan mencari teman saat ia sedang tidak ingin sendirian. Gadis itu hanya perlu berjalan beberapa langkah dan menggedor pintu Michelle.
 

“Berapa umurmu sekarang?” tanya Lydia saat ia tak tahan dengan keheningan yang ada setelah mereka turun dari kereta. Lydia ingat tahun lalu ia pernah bertanya tentang hal serupa pada mahasiswa kedokteran ini sekali, tetapi ia lupa. Lydia hanya ingat bahwa Jeong berusia beberapa tahun di atasnya.
 

“Dua puluh empat.”
 

Ah, iya. Dua puluh empat. Lydia tidak ingat. Tetapi gadis itu mengangguk-angguk seolah ini adalah informasi baru baginya. Lydia sukar mengingat hal-hal kecil seperti itu. Berarti, pemuda itu berumur 23 tahun karena usia di Korea ditambah satu tahun dari standar usia internasional.
 

Lydia sekarang berumur 19 tahun. Dengan usia empat tahun di atas Lydia, seharusnya Lydia tidak memakai banmal  seperti yang ia pakai sekarang.
 

Pertama kali mereka bertemu, Lydia memanggil Jeong dengan ‘Kim Jeong-sshi’  dan gadis itu menggunakan jondaemal . Tetapi setelah beberapa bulan, Jeong meminta Lydia untuk memanggilnya dengan nama, tanpa embel-embel ‘-sshi’. Lydia tidak bisa, karena menurutnya tidak sopan memanggil orang yang lebih tua hanya dengan namanya saja.
 

Sebenarnya, Lydia sudah berpikir untuk memanggil Jeong dengan sebutan ‘oppa’ . Tetapi setelah ingat tentang drama Korea yang terlalu mengekspos panggilan itu sebagai panggilan mesra, Lydia kehilangan minat untuk menggunakannya.
 

Alhasil, Lydia menggunakan banmal dan tidak pernah memanggil Jeong dengan namanya. Lydia lebih nyaman memanggil pemuda itu dengan sebutan “hei” atau “kau”. Lydia tahu itu salah, tetapi apa boleh buat? Ia tidak punya pilihan lain kan?
 

Saat mereka berjalan menyusuri jalan, seorang ajumma  memandang Lydia dengan senyum lebar. Di tangannya ada dua buah kursi lipat yang baru saja akan ia keluarkan untuk restorannya. “Lydia!” Bibi itu menyapa Lydia dengan suara renyah.
 

“Kim-eonni !” Lydia melambaikan tangannya pada wanita berumur 40 tahunan bertubuh kurus itu. Bibi itu hanya mau menoleh kalau dipanggil eonni. Lydia menghampirinya dan mengelus bahu wanita itu setelah bertanya apa kabarnya.
 

“Have you eaten? Aku punya pasta terbaik hari ini!” tawar bibi itu dengan pelafalan bahasa Inggris yang sempurna. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum lebar.
 

Lydia membalas senyum bibi itu. Restorannya adalah restoran Italia. Sebulan yang lalu, Lydia ke restoran itu saat ia membutuhkan camilan ringan karena perutnya kosong. Saat itu, restoran sepi dan Lydia mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan wanita itu dan bersenda gurau bertukar pengalaman. Wanita itu ternyata pernah belajar memasak di Italia beberapa tahun, karena itu bahasa Inggris Kim-eonni sangat bagus dan kadang kosakata Italia meluncur keluar dari bibirnya.

“Hari ini kami ingin makan jigae,” ujar Lydia menolak tawaran wanita itu. “Restoran di ujung gang sana sudah buka kan?” Lydia bertanya memastikan sambil menunjuk ke sebuah gang tak jauh dari tempat mereka bercakap-cakap.
 

Wanita itu mengangguk. “Seharusnya mereka tidak libur,” ujarnya sambil mengelap tangannya pada celemek yang sedang ia kenakan. Bibi itu memandang Lydia dan Jeong bergantian.
Kemudian, bibi itu mendekatkan bibirnya ke telinga Lydia. Lydia mengerutkan keningnya ingin tahu apa yang akan dibisikkan oleh wanita itu.

 

“Dia pacarmu?” Bibi itu ternyata mengeluarkan suaranya lebih keras daripada yang Lydia kira, seolah ia ingin mengabarkan pertanyaannya ke seluruh penjuru Seoul.
 

Jeong pura-pura membetulkan tas ranselnya yang berwarna abu-abu (Lydia sudah menyuruh Jeong mengganti tasnya beribu kali, karena model tas itu sudah ketinggalan zaman), pura-pura tidak mendengar kata-kata itu tadi.
 

Lydia mendengus. Kemudian tertawa singkat. Setelah memukul pundak bibi itu, ia berkata, “Yang benar saja! Dia itu temanku! Sudahlah, kami harus segera pergi sebelum restoran itu jadi ramai. Kapan-kapan aku akan mampir lagi!”
 

Lydia melambaikan tangan, dibalas bibi itu sambil tersenyum lebar. Bibi itu membungkukkan badannya pada Jeong dan Jeong juga membalasnya dengan sopan.
 

“Lydia,” panggil Jeong dengan nada ingin tahu. “Siapa wanita tadi?”
 

“Oh, dia? Pemilik restoran tadi. Kami sempat bercakap-cakap dan… Oh, Heeeei…” Lydia melambaikan tangan pada seorang anak kecil. Dengan malu-malu, anak itu menggigit mainannya dan kemudian berlari menjauh, masuk ke sebuah restoran, menghampiri ibunya.

Beberapa kali Lydia menyapa orang demi orang yang ia kenal. Lydia sering ke daerah sini. Kadang hanya untuk ke kafe, atau untuk makan malam bersama beberapa temannya. Dan yang membuat Lydia heran adalah betapa banyaknya orang Korea yang mau bercakap-cakap dengan dirinya, walaupun bahasa Korea-nya payah.
 

Karena itu, Lydia suka daerah ini. Orang-orangnya bersahabat. Ramah.
 

“Kau kenal semua orang ini?” tanya Jeong memastikan, karena bukan hal yang tidak mungkin bagi Lydia untuk mengenal semua orang yang ada di sana.
 

Lydia tertawa, “Not all of them. Mana mungkin aku kenal dengan mereka semua? Kau tahu sendiri bahasa Korea-ku payah. Oh! MICHELLE! SHIN!”
 

Jeong berjengit karena Lydia tiba-tiba saja mengeluarkan suara keras memanggil dua orang kawan mereka. Michelle adalah teman dekat Lydia, sedangkan Shin adalah partner Michelle. Mereka berempat sering makan bersama dan menghabiskan waktu bersama. Kadang, mereka juga mengadakan acara belajar bersama yang sering kali menjadi acara bermain bersama. Minggu lalu mereka ke Lotte World, padahal seharusnya mereka berencana untuk belajar bersama hari itu. Tentu saja semuanya adalah ajakan Lydia yang notabene tidak suka belajar.
 

Michelle bertubuh tinggi semampai. Hidungnya, tidak seperti orang Asia pada umumnya, mancung dan bulu matanya lentik. Wajahnya mungil dan cantik. Rambutnya yang dicat kecokelatan lurus berkilau, seolah setiap hari gadis itu menyempatkan diri ke salon untuk merawat rambutnya itu. Matanya berwarna cokelat gelap. Kalau berjalan dengan Lydia, mereka berdua seperti jerapah dan kuda poni. Yang satu tinggi dan tenang, sedangkan yang satu ingin bergerak ke sana-kemari.
 

Shin bertubuh lebih tinggi dan lebih besar daripada Jeong. Pemuda itu mengangkat telapak tangannya, memaksa Jeong untuk ber-high-five. Jeong menyambut telapak tangan yang kasar itu. Awalnya, Jeong mengira Shin tidak akan bertahan lama bergabung dengan Hi5 karena tampangnya yang keras. Namun nyatanya, Shin bisa bergaul dan beradaptasi dengan pelajar asing jauh lebih baik daripada yang Jeong kira. Tidak salah Jeong mengajak pemuda itu untuk bergabung dengan Hi5.


“Lydia! What are you doing here?” tanya Michelle.


“Cari makan,” ujar Lydia. “Kau sendiri? Dan Shin… apa itu yang kau bawa?!”


Belum sempat Michelle menjawab, Shin sudah mengangkat lengannya, menunjukkan tas-tas belanja dengan warna beraneka ragam. Wajahnya tampak memelas dan matanya mengatakan bahwa tas-tas belanja itu semua adalah ulah Michelle.


Gadis berkulit putih itu nyengir lebar, “Aku tak bisa tahan lebih lama lagi untuk berhemat. Aku harus berbelanja. Dan aku sudah lapar. Boleh aku bergabung dengan kalian?”


Lydia mengangguk bersemangat, “Jigae! Restorannya ada di sekitar sini. Yuk!”
*

Beberapa menit kemudian, mereka berempat sudah berada di dalam sebuah restoran. Di hadapan mereka terletak sebuah panci dengan asap mengepul, berisi hidangan yang siap untuk disantap.
 

Mata Lydia berbinar menatap isi panci tersebut, sementara Michelle sibuk mengaduk isinya agar bumbu-bumbu di dalamnya merata.
 

“Ini yang paling enak saat musim dingin seperti ini,” ujar Lydia tanpa bisa mengalihkan pandangannya dari panci yang berisi tahu, daging, kimchi, dan beberapa sayuran yang Lydia sendiri tak tahu apa namanya.
 

“Lydia,” protes Michelle dengan kening berkerut, membuat wajahnya tampak lucu. “Ini masih belum musim dingin, ingat?”
 

Lydia mengangkat kepalanya, menatap Michelle dan berpikir sejenak, kemudian ia memandang Jeong, meminta pendapat. Jeong mengangguk, “Ini masih musim gugur.”
 

Tidak puas, Lydia menatap Shin, meminta pemuda itu untuk membelanya.
 

“Menurut hasil voting,” ujar Shin nyengir, “aku rasa sekarang memang masih musim gugur, Lydia.”
 

Lydia membuka mulutnya untuk membantah, tetapi kemudian membatalkan niatnya.
 

Lydia menaikkan bahunya, “Ah, yang penting kalian tahu apa maksudku. Kalian paham kan? Jangan bilang kalian tidak tahu apa maksudku tadi.”
 

“Memangnya kau tadi sedang membahas apa?” tanya Michelle menggoda. Sekali lagi, gadis itu mengaduk panci di hadapan mereka agar isinya merata.
 

“Membahas betapa enaknya sundubu jigae ,” ujar Lydia asal-asalan.
 

Shin menyemburkan tawa tak habis pikir. Jeong memiringkan kepalanya, menatap heran. Rasanya, tadi Lydia membahas tentang musim gugur dan musim dingin. Kenapa sekarang topik pembicaraan jadi lain seperti ini? Jeong membiarkan saja topik pembicaraan itu menghilang dengan sendirinya, karena ia tak menemukan alasan untuk memperpanjang perbedaan antara musim dingin dan musim gugur di bulan Oktober seperti ini.
 

“Belanja apa kau tadi?” Lydia mengedikkan kepalanya pada tas-tas yang bertengger di sebelah Shin dengan apik.
 

“Sebagian besar baju dan jaket untuk musim dingin nanti,” kata Michelle yang sekarang sibuk membagi piring-piring kecil dan sumpit.
 

“Lalu, sebagian kecilnya?” tanya Lydia ingin tahu.
 

“Bahan-bahan untuk World Food Fair,” kata Michelle. “Ngomong-ngomong tentang WFF, apa yang akan kalian buat?”
 

WFF adalah acara tahunan universitas mereka. WFF akan mengumpulkan seluruh mahasiswa asing dan memberi mereka kesempatan untuk memperkenalkan makanan negara masing-masing. Beberapa senior dari Jepang sudah sempat menghubungi Lydia untuk memastikan bahwa gadis itu bisa membantu, tetapi Lydia masih belum tahu apa yang akan Jepang hadirkan dalam acara itu. Masih belum ada informasi lebih lanjut dari senior-seniornya.
 

Acara WFF ini sudah menjadi acara tahunan yang banyak ditunggu oleh siswa. Penduduk sekitar mereka juga menantikan acara ini. Siapa yang akan menolak makanan internasional berharga murah dan dibuat oleh orang dari negara itu sendiri? Mereka bisa merasakan rasa makanan itu yang sebenarnya, tanpa ada olahan khusus untuk menyesuaikan makanan itu dengan lidah Korea.
 

Tahun lalu, saat mengikuti WFF pertamanya, senior-seniornya sempat tidak percaya mendengar bahwa Lydia berasal dari Jepang, terlebih karena namanya. Lydia adalah nama pemberian ibunya. Ia seorang wanita yang lemah lembut, selalu siap dengan pelukan hangat saat Lydia membutuhkannya.
 

Itu dulu.
 

Ibu Lydia meninggal saat Lydia berusia 10 tahun. Lydia ingat ia meraung-raung di hadapan orang banyak dan ayahnya berusaha untuk membuatnya diam dengan mengelus-elus punggungnya, seolah pria itu berjanji untuk menjadi ibu juga bagi Lydia.
 

Ayah Lydia berasal dari Asakusa, Jepang, kota lama yang menyimpan banyak sejarah. Asakusa juga didiami oleh orang-orang yang ramah. Kota itu juga memiliki kedai-kedai di pinggir jalan, mirip dengan lingkungan di dekat kampus ini. Mungkin karena itu Lydia lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan ini daripada orang kebanyakan.
 

Lydia lahir di Jepang. Karena itu, ia berkewarganegaraan Jepang dan harus membantu tim WFF Jepang.
 

“Kim Jeong-sshi… kau tahu kan kau harus membantu Lydia, karena kau partnernya?” tanya Michelle pada Jeong.
 

Jeong mengangguk. Tentu saja ia tahu.
 

“Aku sudah mengatakannya berulang kali pada Lydia, tapi dia seperti tak mau tahu,” ujar Jeong menatap Shin seolah ingin meminta nasihat bagaimana caranya agar Lydia bisa aktif dalam kegiatan seperti itu.
 

Lydia mengangkat alisnya, “Bukannya aku tidak mau tahu. Hanya saja, seharusnya panitia yang menghubungiku untuk tindak lanjutnya, kan? Rapat dan semacamnya harusnya ada kan? Dan harusnya aku dipanggil kan? Aku masih belum mendapat informasi apa-apa. Mungkin saja mereka tak mau aku bergabung dengan mereka…”

“Mana mungkin?!” ujar Michelle sedikit marah. “Mana mungkin mereka tidak menginginkan bantuan? Aneh betul? Perlu kau tahu saja, kami tim Mongol hanya terdiri dari tiga orang. Kalau mereka tidak ingin bantuanmu, kau bisa membantu kami!”
 

“Empat orang,” ralat Shin sambil menyumpit tahu dan menyantapnya. “Jangan lupakan aku. Kau tahu membawa barang-barang WFF ternyata berat sekali. Setidaknya, ingat bahwa aku anggota tim kalian.”
 

“Karena itu, kita harus membelinya sedikit demi sedikit,” kata Michelle setelah mengucapkan terima kasih pada Shin sebagai tanda bahwa gadis itu menghargai bantuan Shin. Kemudian pada Lydia ia berkata, “Kalian belum mempersiapkan apa-apa? Acaranya Jumat minggu depan kan?”
 

“Aneh kan?!” gerutu Lydia ingin menimpakan kesalahan pada anggota yang lain. “Masa mereka tidak mempersiapkan apa-apa? Tapi rasanya, mereka memang sudah merencanakan sesuatu yang aku tidak tahu…”
 

Jeong menggeleng, “Kau terlalu banyak berpikir, Lydia. Aku akan mencari informasi di kantor Hi5 besok. Seharusnya Tomo sudah merencanakan sesuatu. Aku akan cari tahu.” Tomo adalah ketua pelajar Jepang.
 

“Bagaimana dengan Mongol?” tanya Lydia pada Michelle sambil menuangkan sedikit sup pada mangkuknya. “Sudah merencanakan akan membuat apa?”
 

Michelle meletakkan sumpitnya dan berkata dengan mata berbinar, “Buuz! You really have to try this dumplings!”
 

“Rasanya seperti apa?” tanya Jeong ingin tahu.
 

Dan kemudian, Michelle mulai bercerita dengan menggebu-gebu tentang buuz—sejenis siomay. Terlihat jelas bahwa gadis ini merindukan negara asalnya dan siap untuk melahap sendiri makanan khas tahun baru dari negaranya itu. Beberapa kali Shin menimpali kata-kata Michelle, mendukung setiap kata-katanya. Lydia terkekeh saat mendengar Michelle berbicara.

Mereka berempat terlalu asyik berbicara sampai mereka tak menyadari kehadiran seorang pemuda berjas putih yang sedang duduk di ujung ruangan. Di hadapan pemuda itu, beberapa botol soju   diletakkan sembarangan. Sesekali pemuda itu melirik ke arah mereka, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka.
 

Sekali lagi pemuda itu meraih botol soju, menuangkan isinya ke dalam gelas dan menenggaknya. Semuanya ia lakukan tanpa mengalihkan pandangannya dari Lydia, gadis blasteran itu.
*

bottom of page