top of page

Then I Hate You So

“Suatu malam aku menyadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu.
Saat aku menyadari hal itu, kau tiba-tiba menghilang”

Semua berawal dari bencana tsunami yang mengguncang Jepang.



Itoyama Luca, mengira dia sudah memiliki segalanya. Kepintaran, karir yang sukses, dan bahkan tampang yang keren. Tapi semuanya seolah tidak berarti setelah bencana itu. Kekacauan di Jepang membuat sebuah perasaan yang sempat menghilang muncul kembali. Dan takdir menuntunnya menyelesaikan perasaan anehnya itu.

Han Naran, model cantik yang wajahnya menghiasi papan iklan Korea itu berhasil menyembunyikan isi hatinya selama tujuh tahun. Bencana alam di Jepang membuat perasaannya itu bangkit kembali dan malah semakin menggebu.

SAMPLE CHAPTER . . . 

TEPCO, Tokyo Electric Power Company adalah sebuah perusahaan pembangkit listrik terbesar di Jepang Timur. Sebulan yang lalu, mereka merilis sebuah sistem informasi teknologi raksasa yang keberhasilannya akan membawa kesuksesan besar bagi TEPCO.


Dan benar saja, dalam jangka waktu sebulan, sudah banyak sekali media massa yang menuliskan keberhasilan TEPCO. Pemilik perusahaan pun menyambut berita bahagia ini dengan sebuah pesta kecil untuk memberikan penghargaan bagi 20 anggota proyek.


Pesta itu berlangsung di kantor cabang Fukushima, dua jam perjalanan dari Tokyo menggunakan shinkansen. Luca Itoyama, manajer yang membawahi proyek itu ada di dalam ruangan pesta berdekorasi mewah yang mampu menampung nyaris seratus orang.


Cih! Luca tiba-tiba mendesis. Ia baru saja mendengar nama beberapa pimpinannya disebutkan dalam kata sambutan diiringi ucapan terima kasih.


Hatinya makin sebal saat melihat para pemimpinnya itu mengangguk dan tersenyum seakan mereka layak diberi ucapan terima kasih.


Ini kesuksesanku! Pikir Luca. Mereka seenaknya saja memasukkan kaki mereka ke dalam kesuksesan itu. Dialah yang memimpin 20 orang dan hampir setiap malam lembur di kantor sampai nyaris pagi. Kadang dia malah tidak pulang dan tidur di sofa ruang kantornya demi mengerjakan proyek itu.


Luca memegang gelas berisi anggur di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang kue keju. Di sebelahnya berdiri Tanaka Ken―teman baiknya―yang berwajah sedikit tembam. Kalau tidak ada orang ini, Luca sendiri tidak yakin apa dia bisa memimpin proyek raksasa itu.


Setahun yang lalu, seniornya yang memegang proyek TEPCO mendadak mengundurkan diri. Kantor langsung kalang-kabut karena proyek TEPCO ini bernilai jutaan yen. Luca dan Tana-Ken (Luca memanggil Ken dengan nama ini karena ada 4 orang bernama Tanaka di kantor) ditunjuk sebagai manajer dan wakil manajer untuk menggantikan si senior ini.


“Kita bisa mati,” keluh Tana-Ken waktu itu.


Luca tersenyum dan menepuk pundak Tana-Ken, “Tenanglah, kita berdua bisa memimpin proyek ini.”


Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Senior mereka sama sekali tidak melimpahkan informasi apa pun pada mereka. Tim kacau balau karena pergantian pemimpin yang mendadak.


Di saat krisis seperti itu justru Tana-Ken yang terlihat tenang. “Kau kerjakan apa yang harus kau kerjakan, Luca,” ucapnya tegas. “Aku yang akan menyatukan tim ini lagi.”


Luca dan Tana-Ken bekerja lembur nyaris tiap malam hanya untuk menyatukan semua informasi yang dulu dimiliki oleh seniornya. Luca yang jenius mengurus bidang teknis sementara Tana-Ken yang pintar mengambil hati orang mengurus bidang sosial dan mendekatkan lagi para anggota proyek. Setelah sebulan kerja keras menyatukan tim, proyek itu kembali berjalan dan mengejar keterlambatan mereka.


Kenangan keberhasilan itu langsung lenyap ketika Luca melihat Tana-Ken mengunyah yakisoba  dengan rakus. Nafsu makan Tana-Ken memang tidak bisa dikontrol. Luca melirik temannya dengan sebal. Tidak sadar sedang diperhatikan, Tana-Ken mengambil yakitori . Luca mendengus geli. Kalau saja ada sukiyaki  di sini, maka makanan favorit Tana-Ken akan lengkap. Sepertinya, pemuda berwajah bulat itu suka makanan yang mengandung kata “yaki”.


“Pidatonya lama sekali,” keluh Tana-Ken dengan mulut penuh yakisoba. “Aku lebih suka mendengarmu berpidato!”


Luca mencibir mendengar ucapan Tana-Ken. Toh nanti dia juga akan diminta untuk berpidato. “Jagoan selalu belakangan,” ujarnya dengan mata masih tetap menatap panggung, mencoba mendengar pidato seorang eksekutif dari TEPCO.


Luca berumur 26 tahun dan memiliki badan proporsional yang pantas mengenakan apa saja, apalagi jika terbalut jas pesta seperti sekarang ini. Yang tidak mengenal Luca, pasti mengira Luca sebagai seorang model. Ayahnya adalah orang Jepang, sedangkan ibunya berdarah Inggris. Karena itu, mata dan rambutnya berwarna coklat alami. Kulitnya pun putih, bukan pucat. Jenis putih yang akan membuat tiap cewek rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya.


“Mereka sedang membicarakanmu!” seru Tana-Ken, menuding segerombolan gadis yang duduk di seberang mereka dengan tusuk sate yakitori-nya.


Luca mengalihkan pandangan matanya sejenak dari panggung. Gerombolan gadis yang lebih muda dari mereka itu terlihat terkejut karena menyadari Luca menatap mereka. Bahkan salah seorang dari mereka terpekik pelan, kemudian mereka semua terkikik. Iseng, Luca mengedipkan sebelah matanya pada gerombolan gadis itu. Cewek yang tadi terpekik pelan, seakan nyaris pingsan.


Tana-Ken menggelengkan kepalanya sambil menatap Luca yang sedang meringis puas. Luca sendiri tidak habis pikir kenapa cewek-cewek itu memekik pelan seperti anak kucing yang terinjak ekornya.


“Omae sa… ” ujar Tana-Ken. “Kalau kau menghilangkan sikap playboy dan aroganmu, kau akan menjadi cowok sempurna…”


Luca mengangkat kedua alisnya, memandang Tana-Ken dengan tatapan mata tajam. “Jadi kau mau bilang kalau aku belum sempurna?”


“Chotto !” Tana-Ken berhenti mengunyah yakitori dan mendesah. “Jangan lihat aku dengan tatapan mata seperti itu! Kau tahu sendiri kau terlihat mengerikan kalau sedang melotot! Mau yakitori?” katanya sambil menyodorkan setusuk yakitori pada Luca.


Luca menggeleng. “Perutku mulas,” ujarnya. “Kapan sih pidatonya selesai? Aku ingin ke toilet.”


“Makanya, makan yakitori dong!”


Luca meyodorkan gelas anggurnya, nyaris menyentuh hidung Tana-Ken. “Aku sedang minum wine! Sejak kapan yakitori cocok untuk menemani wine? Keju atau roti… itu baru cocok dengan wine!”


“Yang penting enak!” Tana-Ken mencibirkan bibirnya. “Lagipula, kenapa tidak ke toilet sekarang?”


“Dan ambil resiko dimarahi?” Luca berdecak. “Kau tahu sendiri pimpinan kita keras semua. Banyak aturan. Tadi pagi aku sudah diwanti-wanti agar jangan keluar ruangan sebelum semua pidato selesai.”


Grooook.


Perut Luca menggelegar ringan. Tana-Ken nyaris  tertawa karena dia mendengar suara perut mulas Luca.


“Aku harap tidak sampai terlambat.” Tana-Ken meringis sambil menunjuk perut Luca. “Aku tidak bisa membayangkan Itoyama Luca yang kebobolan.”


Luca memandang Tana-Ken dengan sadis. Tana-Ken meringis sekali lagi dan kembali meminum bir yang ada di tangan kirinya.


“Sekian pidato dari saya.” Saat eksekutif itu mengakhiri pidatonya, Luca kembali menatap panggung. “Terima kasih atas perhatian Anda.”


“Akhirnya selesai juga!” ujar Luca. Dia menaruh gelasnya ke atas meja, hendak menggunakan kesempatan itu untuk pergi ke toilet.


Sebagian besar orang menaruh gelasnya kembali ke atas meja dan bertepuk tangan bagi eksekutif itu. Tana Ken juga menaruh piring berisi yakitori, juga gelas birnya yang hampir kosong ke atas meja, kemudian bertepuk tangan seperti seorang anak kecil yang baru saja melihat sirkus.


“Dasar tukang jilat,” desis Luca. “Kau sama sekali tidak memperhatikan pidatonya.”


“Ssstt!” desis Tana-Ken sambil terus bertepuk tangan. “Kau sendiri kenapa tidak bertepuk tangan?”


Eksekutif yang baru saja selesai berpidato tadi ternyata berjalan menghampiri Luca. Luca menundukkan tubuhnya 30 derajat, memberi salam penghormatan basa-basi.


“Sial! Aku ingin ke toilet…” desis Luca pada Tana-Ken, kemudian tersenyum kecil saat matanya bertemu dengan wajah si eksekutif.


“Yaa! Itoyama-kun !” Eksekutif itu tersenyum lebar. Kemudian sambil mengangkat gelas birnya dia berkata, “Kanpai !”

 

Luca mengangkat gelas anggurnya dan membiarkan gelas mereka berdenting di tengah ributnya suasana pesta.
 

“Kau sehat-sehat saja kan?” ujar eksekutif itu.
 

“Mr. Ishimori, tentu saja saya sehat. Bagaimana keadaan Anda setelah proyek kita rilis, Sir?”
 

“Luar biasa,” ujar Mr. Ishimori sambil memegang perut gendutnya. “Luar biasa! Satu bulan kita merilis sistem kita dan aku sudah bisa melihat hasilnya! Bulan ini hasil penjualan kita meningkat, karyawan puas, pelanggan puas, saya puas! Hahaha!”

Luca tidak bisa melepaskan matanya dari perut gendut Mr. Ishimori.  Dia ingin sekali berkata bahwa Mr. Ishimori harus mulai memperhatikan perutnya yang semakin gendut, tapi dia hanya bisa tersenyum dan berujar, “Kami berusaha sebaik yang kami bisa, Sir. Proyek ini adalah proyek besar dan berat. Tapi dari awal saya memang sudah bisa meramalkan, dengan masuknya saya ke dalam proyek ini, proyek ini bisa berjalan dengan lancar.”
 

“Ohoho!” Eksekutif itu sedikit terkejut mendengar ucapan sombong dari Luca. “Pantas saja orang-orang banyak bergunjing tentangmu, Itoyama-kun. Sekarang aku tahu kau ini ternyata bukan orang Jepang yang penuh dengan kerendahan hati!”
 

Luca tersenyum, sedikit mencibirkan bibirnya yang penuh. “I’m not a Japanese, Sir.”
 

Ando wizzu guudo inggurisshu,” and with good English, kata Mr. Ishimori dengan pelafalan bahasa Inggris yang kacau. “Kalau kau mau, aku bisa meminta eksekutif di perusahaan untuk mempertimbangkan sebuah pekerjaan bagimu di sini, Itoyama-kun.”
Luca tersenyum. “Akan saya pertimbangkan, Sir.”

 

Guudo!” good, ujar Mr. Ishimori sambil tertawa lebar. Wajahnya sudah kemerahan karena terlalu banyak menegak bir. “Guudo! Hahahahaha!” Kemudian dia berlalu pergi.
 

“Gila kau ya,” ujar Tana-Ken. “Dia itu orang penting di TEPCO dan cara bicaramu seolah dia itu seorang karyawan biasa.”
 

“Oh ya?” Luca mengedipkan matanya beberapa kali, bersikap seolah dia tidak bersalah. “Setiap orang kan sama saja, tidak ada bedanya. Sama-sama manusia. Cuma gelarnya saja yang lebih tinggi. Lagipula suatu saat aku yakin posisiku akan lebih tinggi darinya, jadi aku membiasakan diri dari sekarang. Kita keluar dari sini. Aku sudah tidak tahan lagi,” kata Luca sambil mengelus perutnya yang mulas.
 

Tana-Ken menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap keras kepala Luca. Mereka pun menunggu di depan lift.
 

Akhirnya, setelah suara denting lembut, pintu lift membuka. Tana-Ken masuk ke dalam lift, diikuti Luca. “Atas atau bawah?” tanya Tana-Ken.
 

“Atas,” kata Luca. “Aku ingin lihat laut. Dan Tana-Ken, percepat liftnya. Perutku semakin mulas.”
 

Tana-Ken mendengus geli, “Mana bisa dipercepat? Tahanlah sebentar.”
 

Mereka berada di sebuah gedung yang relatif dekat dengan laut. Walaupun tidak mudah untuk ke pantai, tapi mereka bisa melihat pantai itu dari atap gedung.
 

Grak! Grak!
 

“Suara apa itu?” Tana-Ken bertanya dengan suara khawatir. Dia melebarkan kakinya, sedikit mengambil kuda-kuda.
 

Lift yang mereka naiki mulai bergoyang ke kanan dan ke kiri.
 

“Gempa,” komentar Luca ringan. “Sebentar lagi juga reda.”
 

Grak! Grak! GRAK!!
 

Getaran itu semakin membesar dan menjadi goncangan.
 

“Reda apanya?” gerutu Tana-Ken, kali ini menempelkan tangannya pada dinding lift. “Rasanya malah tambah besar!”
 

“Oooh…” Luca mengeluh pelan. Perutnya melilit tambah parah karena guncangan gempa.
 

Dan akhirnya…
 

GRAK!
 

Dengan gerakan menghentak, lift yang mereka naiki berhenti. Lampu darurat menyala remang-remang di sudut atas kotak lift itu, seolah lift itu sebuah diskotik kecil murahan.
 

“Ya Tuhan!!” Tana-Ken mulai panik.
 

Goncangan gempa masih belum saja reda. Lift bergoyang lagi. Meski Luca berusaha terlihat tenang, tapi sebenarnya dia bergidik ngeri. Dia tidak tahu sekarang mereka berada di lantai berapa. Kalau mereka terlalu tinggi dan lift ini jatuh… Luca tidak yakin mereka bisa keluar dari lift hidup-hidup.
 

“Kita harus keluar dari sini,” ujar Luca cepat.
 

“Bagaimana?”
 

GROK!
 

Lift terhentak ke bawah, seolah seutas tali baja yang mehanan lift dari atas terputus. Denyut jantung Luca nyaris berhenti. Dia tidak pernah suka dengan roller coaster. Dan lift ini lebih mengerikan daripada roller coaster .
 

GROK!
 

Lift itu terhentak sekali lagi.
 

DUK!
 

“Aduh!” Karena hentakan tadi, Tana-Ken kehilangan keseimbangan dan dahinya menghantam tembok lift. Terhuyung-huyung, Tana-Ken menarik dasi Luca, berusaha untuk menahan tubuhnya, tapi tidak bisa. Dia terus melorot sambil menarik dasi Luca.
 

“Tana-Ken! Aku tercekik!” Luca memprotes, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tana-Ken!” teriaknya tapi tidak ada gunanya.
 

Tana-Ken pingsan.
 

Sialan, pikir Luca. Sial!
 

“Ken! Tana-Ken!” Luca menepuk-nepuk pipi Tana-Ken lirih. Ingin sekali Luca menampar pipi tembam itu agar Tana-Ken bangun dari pingsannya.
 

Gempa masih belum reda. Luca membiarkan Tana-Ken tergeletak di lantai. Dia menekan tombol darurat yang berada di dekat pintu lift.
 

Luca mulai gelisah, karena tidak kunjung ada orang yang menjawab panggilan tombol darurat. “HALOOO!” Luca berteriak ke arah microphone yang terletak di atas tombol darurat itu. “ADA ORAAANG?? TOLONG!”
 

Goncangan sudah sedikit reda. Tapi pemuda itu belum bisa bernafas lega. Perutnya masih mulas, melilit sakit setengah mati, seolah ada belut yang menggeliat-geliat di dalamnya. Luca menekan perut dengan jemarinya, mencoba menahan sakit. Dia menghembuskan nafas, berharap dapat meredakan deritanya.
 

Pemuda itu berpikir, gempa masih bisa dikompromi, bagaimana pun gempa akan segera usai dan akan ada satpam yang membantu mereka keluar dari lift sialan ini. Tapi perutnya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Kata-kata Tana-Ken tentang dia kebobolan membuat Luca bisa membayangkan adegan menjijikkan itu. Dan dia tidak bisa membiarkan pamornya jatuh.
 

Luca menoleh ke sudut lift dan matanya melebar. Kotak darurat!
 

Beberapa bulan yang lalu dia pernah menertawakan sebuah acara TV yang menunjukkan bagaimana cara bertahan di dalam sebuah lift. Biasanya di sudut belakang lift selalu ada kotak darurat. Di dalamnya ada kotak P3K, makanan kering dan air, serta beberapa alat untuk bertahan di dalam lift selama beberapa hari. Yang lebih spektakuler lagi, setelah semua barang-barang itu dikeluarkan si kotak bisa menjadi toilet.
 

Toilet.
 

Luca sama sekali tidak pernah membayangkan acara TV itu akan sangat berguna baginya. Tapi, aku akan bertahan, ujarnya dalam hati. Siapa tahu bantuan akan datang tepat waktu.
 

Tapi lagi-lagi Luca melirik ke arah kotak darurat itu.
 

Di dalamnya ada toilet, pikir Luca kemudian buru-buru mengenyahkan pemikiran itu.
 

Groooook…
 

Perutnya kembali berbunyi lirih. Luca melirik kotak toilet darurat itu sekali lagi, kemudian mengerutkan kening. Kali ini ia benar-benar mempertimbangkan untuk membuka kotak darurat itu.
 

Tapi, bagaimana kalau Tana-Ken tiba-tiba terbangun? Bagaimana kalau pintu lift tiba-tiba saja terbuka?
 

Bayangkan saja, manajer yang baru saja membawa kesuksesan pada proyek bernilai jutaan yen ditemukan membuang air besar di dalam lift. Sama sekali tidak keren. Tana-Ken sih bukan masalah, mereka sudah sering pergi ke pemandian umum bersama saat mereka harus lembur semalaman.
 

Grooook…
 

Luca memegangi perutnya lagi dan membulatkan tekad. “Tana-Ken, maaf, aku sudah tidak tahan!”
 

Dengan gerakan super cepat, Luca mengangkat tutup atas kotak darurat yang terbuat dari kayu. Gemuruh di perutnya membuatnya meringis. Dia tidak peduli dengan barang-barang yang dia keluarkan dan membiarkan barang-barang itu berserakan di lantai. Yang dia inginkan sekarang adalah segera membuang benda busuk di dalam perutnya.
 

Semenit kemudian, setelah menata kantung plastik dengan seksama, dia sudah memelorotkan celananya dan duduk di atas toilet darurat itu sambil menahan malu. Tapi, pemuda itu tidak bisa menahan dirinya untuk menghela nafas lega.

 

***

Sambil menutup hidung dan menyipitkan matanya, Luca menaburkan serbuk putih dalam bungkusan yang bertuliskan 'Taburkan serbuk pembunuh kuman ini setelah buang air'.
 

Setelah membersihkan dan membereskan kotak darurat, Luca duduk bersila di sudut lain lift. Bahkan dengan tambahan bau yang keluar dari tubuh Luca, Tana-Ken masih belum bangun dari pingsannya.
 

“Tana-Ken!” Luca mencoba membangunkan temannya lagi. “Sudah kuduga, yakitori tidak baik bagimu!” tambahnya sambil terus menepuk pipi Tana-Ken.
 

Baru pertama kali ini Luca mengalami gempa sebesar ini. Selama ia tinggal di Jepang, belum pernah terjadi listrik padam karena gempa.
 

Gempa di mana? Apa sumber gempanya sedekat itu? Bagaimana kalau ada gempa susulan?
 

Luca bergidik ngeri membayangkan kemungkinan adanya gempa susulan. Apa lift ini mampu menahan bobot mereka berdua? Sudah berulang kali dia memencet tombol darurat, tapi tidak ada orang yang menjawab. Apa mereka akan mati di dalam lift?
 

Padahal hidup Luca baru saja akan dimulai. Belum pernah ada orang yang menjadi manajer semuda dirinya. Dengan keberhasilannya di TEPCO, pasti banyak orang yang rela bekerja di bawah kepemimpinan Luca.
 

Aku masih belum mau mati di sini, ujar Luca pada dirinya sendiri. Aku masih belum melakukan sesuatu yang besar. Dan lagi… 
 

Luca berhenti berpikir saat sekelebat bayangan masuk ke dalam otaknya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sebuah kenangan lama.
 

Grak… grak! Grak!
 

Gempa susulan!
 

Luca berdiri dan mulai menekan tombol darurat itu dengan panik. “HOOOI!!! Ada orang tidak?! KAMI TERJEBAK DI DALAM!!!”
 

GRAK! GRAK!!!
 

Gempa susulan lumayan besar. Lift bergoyang-goyang dengan kencang kali ini.
 

Krieeet! Krieeet! GRAK!!!
 

Sebuah hentakan keras menghantam lift sekali lagi, membuat tubuh Luca terhuyung dan BRUK! Dia tersandung tubuh Tana-Ken dan kepalanya menghantam sudut kotak darurat tadi.
 

Luca mulai kehilangan kesadaran. Tanpa sadar dahinya berkerut saat sebuah nama keluar dari salah satu lipatan otaknya. Kenangan yang sudah lama terpendam seolah bangkit kembali dari kuburnya.
 

Isobe Nana.
 

Ah, perasaannya terhadap gadis itu masih mengganjal. Gadis yang tiba-tiba saja menghilang dari hadapannya tujuh tahun yang lalu. Dia belum meminta maaf, belum meminta penjelasan…
 

Lalu semuanya gelap.

bottom of page